Pojok NTB — Pemerintahan Gubernur NTB Lalu Muhamad Iqbal dan Wakil Gubernur Indah Dhamayanti Putri memasuki 100 hari pertama. Sebuah forum terbuka bertajuk “Mimbar Bebas 100 Hari Iqbal–Dinda” yang digelar Pojok NTB dan lembaga riset Mi6, Minggu malam (1/6) di Tuwa Kawa Coffee Roastery, menjadi ajang kritik, harapan, sekaligus tuntutan publik terhadap arah kepemimpinan mereka.
Forum yang dihadiri politisi lintas partai, aktivis, akademisi, budayawan, dan mahasiswa ini mengungkapkan beragam penilaian. Mulai dari ketidakjelasan arah kebijakan, lemahnya pelayanan publik, hingga kekhawatiran terhadap degradasi lingkungan.
“Saya belum melihat arah kebijakan yang jelas. Rakyat sudah memberikan kepercayaan, tapi aktualisasi visi-misi belum tampak,” kata Dr. Iwan Harsono, ekonom senior Universitas Mataram.
Iwan juga menilai, jargon meritokrasi yang digaungkan pasangan Iqbal–Dinda sejauh ini masih sebatas wacana.
Raden Nuna Abriadi, Anggota DPRD NTB, menuntut adanya gebrakan nyata, bukan sekadar seremoni. Ia bahkan menyindir data produksi pangan yang tidak sesuai antara yang disampaikan pemerintah dengan fakta lapangan.
Sementara itu, Dwi Sudarsono dari Ombudsman NTB menyoroti masih buruknya pelayanan publik. “Banyak dinas masih zona kuning. Ini soal pelayanan dasar seperti KTP dan izin, jangan dilupakan,” tegasnya.
Sorotan tajam juga datang dari WALHI NTB. Amri Nuryadin mengingatkan, degradasi lingkungan makin parah, penambangan ilegal makin masif, namun belum ada sikap tegas dari pemerintah.
“Kami tidak menuntut semua beres dalam 100 hari. Tapi kami ingin sikap jelas, bukan hanya retorika,” kata Amri.
Dari sisi pemuda, Ketua KNPI NTB, Taupik Hidayat, menyayangkan minimnya respons gubernur terhadap organisasi kepemudaan. Ia bahkan menilai gaya komunikasi Iqbal jauh dari keterbukaan.
“Bersurat dua bulan pun belum tentu dijawab. Ini jauh dari gaya kepemimpinan sebelumnya,” ujar Taupik.
Kritik serupa juga datang dari aktivis perempuan Ni Putu Virgi Eka Ayu Rasta. Ia menilai belum ada keberpihakan nyata pada isu perempuan, anak, dan pendidikan.
Namun tidak semua suara bernada pesimistis. Ahmad Ziadi (PSI) dan Aji Maman (PAN) mengajak publik memberi waktu dan menilai berdasarkan capaian nyata ke depan.
“100 hari ini bukan akhir, tapi alarm awal. Pemerintah sedang menyiapkan pondasi kerja,” ujar Ziadi.
Menutup diskusi, Bambang Mei Finarwanto, Direktur Mi6, menegaskan pentingnya 100 hari sebagai indikator arah dan niat baik pemerintahan.
“Fondasi perubahan seharusnya sudah mulai terlihat. Tinggal kita lihat, apakah bangunan itu akan berdiri tegak, atau justru roboh,” tandasnya.