Berita  

TPA Kebon Kongok: Bom Waktu di Ujung Senja

Dari kejauhan, TPA Kebon Kongok terlihat seperti bukit yang menjulang. Tapi bukan bukit biasa. Ia terbentuk dari ribuan ton sampah, menggunung, menanti nasibnya. Aroma menyengat bercampur asap tipis yang mengepul dari sela-sela tumpukan itu menjadi pemandangan sehari-hari. Bagi sebagian orang, ini hanya tumpukan sampah. Bagi sebagian lainnya, ini adalah bom waktu.

 

Setiap hari, sekitar 300-800 ton sampah dari Kota Mataram dan Kabupaten Lombok Barat dibawa ke sini. Plastik, sisa makanan, kain bekas, semuanya bercampur menjadi satu. Di bawah permukaan, sesuatu yang lebih mengancam sedang terjadi: gas metana (CH4) terbentuk dari proses dekomposi sampah organik. Gas ini mungkin tidak terlihat, tapi mudah terbakar. Akumulasi yang terus meningkat membuat TPA Kebon Kongok bak api dalam sekam.

 

Pada 2005, tragedi Leuwigajah menjadi saksi bisu, ketika gas metana yang terperangkap memicu longsor dan menewaskan lebih dari 100 orang. Tahun 2018, TPA Sarimukti, Bandung, kembali mencatat sejarah kelam akibat ledakan gas metana yang memicu kebakaran hebat. Kini, bayang-bayang tragedi serupa menghantui TPA Kebon Kongok.

 

Namun, bukan tanpa jalan keluar. Pencegahan ledakan gas metana harus dimulai dari pemantauan. Sensor gas yang terpasang di setiap sudut TPA menjadi mata yang waspada, mendeteksi peningkatan gas sebelum mencapai ambang bahaya. Di permukaan, ventilasi yang memadai memastikan gas tidak terperangkap di dalam tumpukan sampah.

 

Tapi itu saja tidak cukup. Sampah harus dipilah sejak dari sumbernya. Sisa makanan yang terurai menjadi biang metana harus dipisahkan, diolah menjadi kompos atau energi terbarukan. Teknologi Landfill Gas Recovery menjadi solusi jangka panjang, menangkap gas metana untuk diubah menjadi energi listrik.

 

Di negara lain, sampah bukan ancaman, tapi berkah. Swedia, dengan sistem waste-to-energy, mampu mengubah hingga 90% sampah menjadi energi. Jepang memiliki sistem pemilahan yang ketat, memastikan sampah terolah dengan benar, didukung oleh masyarakatnya yang disiplin. Lalu, mengapa NTB tertinggal?

 

Adalah masyarakat yang menjadi kunci. Tanpa kesadaran memilah sampah, tanpa disiplin dalam pengelolaan, pemerintah hanya akan bermain dalam lingkaran setan. Tapi kesadaran butuh edukasi, butuh dorongan, butuh keseriusan. Dan di sinilah seharusnya peran pemerintah lebih terasa.

 

Pemerintah NTB perlu melangkah lebih jauh. Edukasi masyarakat memang harus sampai mengakar, supaya memahami bahwa setiap sampah yang dibuang sembarangan bisa menjadi bagian dari ancaman. Teknologi harus hadir bukan sebagai proyek pencitraan, tapi solusi nyata.

 

Mungkin belum terlambat bagi NTB. TPA Kebon Kongok masih berdiri, walaupun dengan ancaman gas metana yang mengintai. Tapi dengan langkah strategis, _dari edukasi masyarakat, pengelolaan berbasis teknologi, hingga keterlibatan sektor swasta,_ bom waktu ini bisa dijinakkan.

 

TPA Kebon Kongok tidak harus menjadi bukit api yang menunggu waktu meledak. Dengan pengelolaan yang tepat, sampah di sana bisa menjadi energi. Energi yang menerangi, bukan yang membakar. Waktunya bagi NTB untuk memilih: menjadi wilayah yang *makmur dan mendunia* dengan pengelolaan sampah berkelanjutan, atau menjadi saksi ledakan yang bukan harapan siapapun.

Penulis: Fidar Khairul Diaz

Konsorsium Aktivis NTB

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *