Ironis! Banyak Politisi Muda Tersandung Kasus Suap, Ini Analisis Pakar

Pojok NTB – Maraknya politisi muda yang terseret kasus suap dan korupsi dinilai sebagai fenomena ironis di tengah harapan publik akan lahirnya generasi pemimpin berintegritas. Dosen Antropologi Politik Universitas Bima Internasional MFH, Dr. Alfi Sahri, menilai fenomena ini mencerminkan problem mendasar dalam politik Indonesia.

“Banyaknya pemimpin muda yang masuk ke dunia politik praktis mengindikasikan beberapa hal. Pertama, adanya bonus demografi di Indonesia. Secara statistik, sekitar 60 persen pemilih di Indonesia adalah anak muda. Tidak heran jika partai politik melihat mereka sebagai aset dan lumbung suara,” ujar Alfi, Senin (22/9).

Menurutnya, partai politik juga sengaja merekrut anak muda untuk membangun citra segar, modern, dan regeneratif. Kehadiran figur muda dunia seperti Barack Obama (AS), Justin Trudeau (Kanada), dan Emmanuel Macron (Prancis) turut menginspirasi generasi muda Indonesia untuk terjun ke politik.

Namun, ia menilai hanya sedikit pemimpin muda Indonesia di eksekutif maupun legislatif yang memiliki rekam jejak panjang.

“Harapan publik bahwa pemimpin muda akan membawa perubahan, idealisme, dan integritas baru justru berbalik menjadi anomali. Banyak dari mereka terjerat kasus korupsi dan suap,” tegas Alfi.

Ia menyebut ada beberapa faktor yang membuat politisi muda rentan. Pertama, budaya politik patronase masih sangat kental.

“Banyak pemimpin muda lahir dari jaringan politik lama. Untuk naik, mereka harus tunduk pada sistem patronase. Setelah berhasil, aktor lama yang berjasa akan menuntut loyalitas dalam bentuk uang, proyek, atau konsesi,” jelasnya.

Faktor kedua adalah mahalnya biaya politik. “Ini yang saya sebut kapitalisme politik. Untuk menang dalam pemilu atau pilkada, dibutuhkan modal besar. Setelah menang, banyak politisi muda terjerat utang politik pada sponsor atau pengusaha, yang kemudian menagih balik melalui proyek dan kebijakan,” tambahnya.

Selain itu, minimnya pengalaman dan kontrol diri membuat mereka rentan terhadap godaan kekuasaan.

“Kekuasaan yang datang terlalu cepat sering membuat politisi muda kaget dan gelagapan. Fasilitas mewah dan gaya hidup glamor mudah menggoda mereka,” ungkap Alfi.

Ia juga menyoroti iklim birokrasi dan politik yang masih koruptif. “Pemimpin muda yang idealis sering terjebak kompromi dengan sistem. Kalau tidak ikut arus, mereka bisa tersingkir. Rivalitas politik internal dan eksternal juga menambah tekanan,” paparnya.

Lebih jauh, Alfi menilai fenomena ini juga berkaitan dengan krisis integritas dan kegagalan pendidikan politik.

“Banyak politisi muda naik ke episentrum kekuasaan hanya lewat pencitraan media sosial dan popularitas instan, bukan lewat pembinaan karakter politik yang kuat. Akibatnya, idealisme mereka cepat luntur ketika berhadapan dengan realitas politik transaksional,” pungkasnya.