Dalam kurun waktu lebih dari 25 (dua puluh lima) tahun semenjak reformasi, para penyelenggara negara di bumi pertiwi ini tidak dapat menjalankan tugas dan fungsinya secara optimal, sehingga penyelenggaraan negara tidak bisa berjalan sebagaimana mestinya sesuai dengan amanat Pancasila dan UUD 1945 seperti yang diharapkan para faunding father kita, yaitu menuju rakyat yang sejahtera. Hal ini terjadi karena adanya penyalahgunaan kekuasaan, wewenang, dan tanggungjawab para policy maker yang tidak amanah menjalankan tugasnya meskipun telah di sumpah. Disamping itu, masyarakatpun belum sepenuhnya dapat berperan dalam menjalankan fungsi kontrol sosial yang efektif terhadap para penyelenggara negara akibat munculnya undang-undang ITE yang ambigu, dan cenderung mengamputasi segala kemerdekaan mengeluarkan pendapat. Sehingga masyarakatpun menjadi semakin apatis untuk menyuarakan kebenaran. Kegagalan para birokrat dalam upaya mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia itu tercermin dengan makin carut marutnya cara pengelolaan negara maupun sumberdaya alam, dan makin tumbuh suburnya para koruptor perampok uang rakyat yang justru makin dilindungi, terutama di kalangan elit, serta makin mandul dan hilangnya integritas lembaga anti rasuah seperti KPK, Kepolisian, Kejaksaan maupun Pengadilan. Mungkin sebagian besar para pemangku kebijakan/ pejabat merasa senang menikmati proses kehancuran negara yang sedang berada di depan pintu akibat makin maraknya KKN yang menjadi-jadi di semua lini, karena sudah terlalu banyak kenikmatan-kenikmatan duniawi yang telah dia peroleh selama menduduki kursi jabatan, tanpa peduli lagi dengan moral, etika, norma-norma agama maupun hak-hak rakyat jelata. Semua disapu bersih tanpa kontrol hati nurani. Para koruptor berpesta pora karena telah berhasil mempermainkan dan menaklukan serta menginjak-injak aturan perundang-undangan/ regulasi/ kedaulatan rakyat yang difasilitsi oleh iblis kekuasaan dan setan keserakahan yang terus menerus beranak pinak di negeri ini.
Otoritas kekuasaan, wewenang, dan tanggungjawab para policy maker maupun anggota DPR tidak hanya berdampak negatif di bidang politik, namun juga sangat berdampak pada bidang ekonomi dan moneter, hal mana dapat dibuktikan dengan terjadinya praktek penyelenggaraan negara yang lebih menguntungkan kelompok tertentu saja dan sangat memberi peluang terhadap tumbuh suburnya KKN yang semakin masif di lingkaran para penguasa. Tindak pidana KKN tersebut tidak hanya dlakukan oleh antar penyelenggara negara semata, melainkan juga penyelenggara negara dengan pihak lain, seperti keluarga, kroni, para pengusaha, termasuk sudah merangsak ke aparat penegak hukum tanpa terkecuali, sehingga pada akhirnya kondisi itu sangat merusak sendi-sendi kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, serta sungguh-sungguh membahayakan eksistensi kehidupan bernegara dan masa depan generasi bangsa. Dalam konteks berbangsa dan bernegara, kekecewaan rakyat terhadap realitas sosial, politik, ekonomi dan lebih-lebih di bidang penegakan hukum yang tercipta oleh para pemangku kebijakan sudah tak tersangsikan lagi, seperti api dalam sekam. Apalagi saat dihadapkan pada bayang-bayang kekuasaan yang makin otoriter meninggalkan aspek kedaulatan rakyat. Entah disadari atau tidak, realitas kehidupan bernegara saat ini telah membentuk sebuah peradaban kebohongan bin kepalsuan yang merupakan bibit awal kehancuran suatu bangsa yang harus dinikmati oleh rakyat sebagai akibat hilangnya keimanan, kebarokahan ilmu dan jiwa nasionalisme. Kekuasaan yang terlalu lama, termasuk penambahan usia pensiun yang menyenangkan/ membahagiakan para pemangku kebijakan akhirnya membuat kemampuan penalaran yang jernih dalam memikul amanah rakyat semakin sekarat. Bahkan semakin tidak mampu/ buta melihat apa yang boleh dan apa yang tidak boleh dilakukan menurut norma agama dalam proses penyelengaraan negara. Bahkan lebih parahnya lagi mereka tidak mampu membedakan mana si penjilat dan mana si pengkhianat bangsa. Tetapi pada hakekatnya si pengkhianat sejati itu sesungguhnya adalah orang yang mengkhianati diri sendiri terhadap sumpah jabatan sebagai aparatur sipil negara dan berkhianat terhadap apa-apa yang dilarang oleh norma-norma agama serta tidak amanah dalam menjalankan tugas pekerjaannya sebagai wakil rakyat.
Mari kita lihat sekelumit contohnya, seringkali kali kita melihat bahwa dalam pelaksanaan proyek-proyek kontruksi para pengguna jasa memakai methode kontrak Unit Price/ volume terpasang. Bahkan dalam kontrak lumsumpun sering kita jumpai cara pembayaran prestasi pekerjaan dilakukan berdasarkan termyn dan atau berdasarkan persentase volume terpasang. Sekarang kita coba untuk kembali melihat definisi klausul pasal dalam aturan perundang-undangan tentang pengadaan barang/ jasa pemerintah khususnya mengenai perbedaan kontrak lumsum dan kontrak unit price. Menurut Perpres Nomor : 46 tahun 2025 yang merupakan hasil perubahan Perpres nomor : 12 tahun 2021 dan Perpres nomor : 16 tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/ jasa pemerintah dinyatakan bahwa :
Pertama, kontrak Lumsum merupakan kontrak dengan ruang lingkup pekerjan dan jumlah harga yang pasti dan tetap dalam batas waktu terten tu, dengan ketentuan : (1). Resiko ditanggung oleh penyedia; (2). Berorientasi pada keluaran; dan (3). Pembayaran didasarkan pada tahapan produk/ keluaran yang dihasilkan sesuai dengan kontrak. Dalam praktek pelaksanaannya di tahun-tahun sebelumnya, sering kita jumpai cara pembayaran kontrak lumsum ini memakai termyn ( persentase volume terpasang). Padahal secara aturan yang berlaku tidak ada satupun klausul pasal yang menerangkan bahwa cara pembayaran pada kontrak lumsum itu bisa dilakukan berdasarkan hasil pengukuran bersama atas realisasi volume terpasang. Lalu pertanyaannya adalah : apa alasan hukum dalam kontrak lumsum cara pembayaran bisa dilakukan berdasarkan hasil pengukuran bersama atas realisasi volume terpasang/ per termyn ?. Bukankah cara pembayaran kontrak lumsum itu berorientasi pada keluaran ?. Di sini yang aneh adalah yang dipakai methode kontrak lumsum, tapi cara pembayarannya memakai methode kontrak unit price/ volume terpasang/ termyn ?, bukankah cara-cara seperti itu masuk dalam katagori mala administrasi yang nyata ?. serta berpotensi KKN ?. Sementara dalam regulasi yang ada juga telah difasilitasi methode kontrak gabungan antara lumsum dengan unit price ?. kenapa tidak jenis methode kontrak itu yang pakai/ dipilih/ digunakan oleh PPK/ PA/ KPA, bila cara pembayarannya akan dilakukan melalui termyn atau persentase volume terpasang ?.
Kedua, kontrak harga satuan/ unit price merupakan kontrak pengadaan barang/ pekerjaan konstruksi/ jasa lainnya dengan harga satuan yang tetap untuk setiap satuan atau unsur pekerjaan dengan spesifikasi teknis tertentu atas penyelesaian seluruh pekerjaan dalam batas waktu yang telah ditetapkan dengan ketentuan sebagai berikut : (1). Volume atau kuantias pekerjaannya masih bersifat perkiraan pada saat kontrak ditandatangani; (2). Pembayaran berdasarkan hasil pengukuran bersama atas realisasi volume pekerjaan; dan (3). Nilai akhir kontrak ditetapkansetelah seluruh pekerjaan diselesaikan. Dan fakta yang ada dilapangan beberapa tahun ini sejak tahun 2020 hingga tahun 2025 proyek-proyek kontruksi banyak sekali memakai model kontrak unit price. Sementara indikator ataupun persyaratan untuk memakai methode kontrak unit price sudah sangat terang benderang diuraikan atau diamanatkan dalam perpres pengadaan barang/ jasa. Oleh karena itu ketika PPK/ PA/ KPA menggunakan methode kontrak unit price atau volume terpasang, maka pertanyaan krusial yang harus dapat dijawab oleh mereka adalah :
Dalam pekerjaan kontruksi yang sudah ada Rencana Anggaran Biayanya ( RAB) adakah item pekerjaan atau volume atau item bahan kontruksi yang masih bersifat perkiraaan. Jika item bahan kontruksi sebagaimana tertuang dalam RAB tidak ada yang bersifat perkiraan atau belum pasti, apa yang menjadi alasan PPK/ PA menggunakan methode kontrak unit price ?, jelas-jelas secara administrasi itu telah menyalahi amanat regulasi yang ada. Dan perlu di ingat bahwa KKN atau kerugian keuangan negara itu terjadi berawal dari kesalahan administrasi yang dilakukan oleh para pihak yang terlibat dalam proses pengadaan barang/ jasa. Sehingga jangan heran bila banyak pekerjaan kontruksi yang tidak selesai tepat waktu sesuai dokumen perjanjian kontrak/ akhir tahun anggaran, akibat kesalahan PPK/PA/ PKA dalam melaksanakan tugas memilih methode kontrak jasa kontruksi. Dan sudah jelas siapa saja yang akan menanggung kerugiannya, akibat proyek konstruksi yang tidak selesai hingga akhir tahun anggaran dan atau tepat waktu. Sudahkah hal ini dipertimbangkan ??.
Ketiga, dalam methode kontrak unit price menurut regulasinya diamanatkan bahwa : Nilai akhir kontrak ditetapkan setelah seluruh pekerjaan diselesaikan.Namun pada prakteknya banyak sekali PPK/ PA/ KPA yang menggunakan methode kontrak unit price besaran nilai kontraknya sudah ditentukan pada saat kontrak ditandatangani sebagaimana telah tertuang dalam RAB. Bukankah pola-pola seperti ini menunjukkan secara terang benderang bahwa PPK/ PA/PKA telah melakukan pelanggaran yang nyata terhadap amanah perundang-undangan ?. Lalu kenapa hal-hal yang terjadi di depan mata selama ini terus menerus dibiarkan oleh para pemangku kebijakkan dan Aparat penegak hukum ?. Apa gunakan dilakukan pendampingan hukum berikut alokasi honor pedampingan ?. Kalau mau jujur, berapa banyak proyek-proyek kontruksi dari tahun-tahun sebelumnya hingga tahun anggaran 2025 yang memakai methode kontrak unit price, dimana secara tidak langsung PPK/ PA/ KPA telah melakukan mala administrasi/ pelanggaran terhadap persyaratan yang telah ditetapkan dalam aturan perundang-undangan, yakni nilai kontrak untuk pekerjaan konstruksi sudah ditetapkan terlebih dahulu pada saat kontrak ditandatangani, serta tidak ada satupun intem bahan bangunan konstruksi yang bersifat perkiraan. Semua sudah jelas dan pasti serta dapat dihitung sebagaimana telah tertuang dalam Rencana Anggaran Biaya (RAB) proyek. Lalu apa dasar hukumnya PPK/PA/KPA memilih memakai methode kontrak unit price bila pekerjaan konstruski yang akan dilaksanakan itu tidak memenuhi persyaratan : (1). item pekerjaan atau volume atau item bahan kontruksi masih bersifat perkiraaan; (2).Nilai akhir kontrak ditetapkan setelah seluruh pekerjaan diselesaikan. Bukankah itu termasuk pelanggaran administarsi yang berpotensi menyebabkan kerugian keuangan negara ?. serta pekerjaan tidak dapat selesai tepat waktu ? Sudah terang benderang ada mala administrasi, kenapa semua pada diam meco seperti patung togog di depan kolam renang. Jika kita tulus/ waras berpikir, kemiskinan rakyat maupun carut marut pelaksaaan proyek pemerintah ini, bukannya tidak bisa diatasi, karena kemiskinan di Indonesia maupun carut marut pelaksanaan proyek kontruksi ini pada hakekatnya bukanlah soal kekurangan sumberdaya alam, bukan soal kekurangan uang, bukan soal kekurangan sumberdaya manusia, bukan soal kelemahan tehnologi, melainkan akibat salah urus negara oleh para elit, dan kemiskinan itu sengaja diciptakan dari genggaman perilaku pejabat korup pengkhianat bangsa. Namun jika para penengak hukum serius menjalankan sistem hukum sesuai dengan aturan perundang-undangan, serta menjaga integritas diri dan akidah agama, mungkin kita akan dapat merasakan arti kesejahteraan. Hanya saja dalam berbagai prakteknya, korupsi masih menjadi idola pejabat, KKN sudah menjadi budaya para elit dan transaksi politik secara personal maupun kelompok oportunis. Oleh karena itu rakyat Indonesia harus memilih, tetap menjadi korban ketidakadilan atau bangkit melawan para koruptor. Sebab jika kita diam saja tidak mau berjuang untuk berubah, negeri ini akan selamanya berada dalam cengkraman para maling berdasi yang tak pernah kenyang atau puas menghisap darah dan air mata saudara sebangsa dan setanah air. Dan kehancuran negeri berikut rakyat pribumi hanya tinggal menunggu waktu, negeri pertiwipun akhirnya tinggal menjadi dongeng anak cucu di kemudian hari. Salam perjuangan buat mereka yang masih waras untuk selamatkan negeri pertiwi.