Pengamat Soroti Pembunuhan Istri di Lombok Tengah: Krisis Maskulinitas dan Patriarki Jadi Akar Masalah

Pojok NTB – Kasus tragis pembunuhan seorang istri oleh suaminya sendiri di Lombok Tengah memicu berbagai reaksi publik. Namun, tanggapan sebagian masyarakat justru menunjukkan kurangnya empati dan pemahaman terhadap kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).

Pengamat sosial sekaligus dosen UIN Mataram, Prof. Atun Wardatun, mengkritik respons publik yang dinilainya tidak logis dan cenderung menyudutkan korban.

“Banyak komentar publik yang menyakitkan, seperti ‘padahal cantik, kok tega dibunuh?’ Seolah-olah jika korban kurang menarik, maka pantas diperlakukan begitu. Ini menunjukkan betapa rendahnya empati publik,” tegasnya.

Ia juga menyoroti kecenderungan masyarakat yang terlalu cepat menghakimi korban dengan tuduhan perselingkuhan, padahal belum ada bukti kuat yang mendukung hal tersebut.

“Memangnya sudah jelas korban berselingkuh? Publik tidak boleh langsung menghakimi tanpa fakta,” tambahnya.

Lebih lanjut, Prof. Atun menyebut kasus ini sebagai cerminan dari krisis maskulinitas yang tengah terjadi, khususnya di NTB. Ia menilai, banyak laki-laki merasa terancam saat pasangan perempuannya menunjukkan kemandirian dan keunggulan dalam rumah tangga.

“Saya melihat ini sebagai bentuk krisis maskulinitas. Korban dikenal sebagai perempuan pekerja keras, tidak hanya bekerja secara formal, tapi juga berdagang di car free day. Ketika suami merasa tak mampu menyaingi istrinya, muncul kecemburuan dan rasa rendah diri,” jelasnya.

Menurutnya, akar dari semua ini adalah budaya patriarki yang masih kuat mengakar di masyarakat NTB, di mana peran dominan laki-laki dianggap mutlak dan perempuan harus tunduk.

“Kita sering menyaksikan jika perempuan yang dituduh selingkuh, penghakimannya luar biasa. Tapi jika laki-laki yang selingkuh, banyak yang memaklumi. Ini ketimpangan yang harus disadari,” tutup Prof. Atun.

Kasus ini menjadi cermin serius tentang pentingnya kesetaraan, empati, serta pemahaman terhadap relasi kuasa dalam rumah tangga. Tragedi ini seharusnya menjadi momentum refleksi bagi masyarakat untuk tidak buru-buru menghakimi dan mulai membongkar akar persoalan sosial yang lebih dalam.