Pengamat Nilai ITDC Hanya Mementingkan Korporasi, Masyarakat NTB Dapat Ampasnya

Pojok NTB — Tidak adanya perwakilan Nusa Tenggara Barat (NTB) dalam struktur Indonesia Tourism Development Corporation (ITDC) menuai kritik tajam dari pengamat politik Dr. Alfi Sahri. Ia menilai absennya putra daerah NTB dalam jajaran pengambil kebijakan ITDC bukan sekadar persoalan jabatan, tetapi menyangkut hak dan otoritas politik masyarakat NTB dalam menentukan arah masa depannya sendiri.

“Menurut saya, ketidakhadiran perwakilan NTB dalam ITDC bukan sekadar soal posisi. Ini soal hak masyarakat NTB untuk menentukan nasibnya sendiri, terutama di tengah gencarnya pembangunan kawasan Mandalika,” ujar Alfi, dosen Ilmu Politik IAIN Bima.

Ia menyoroti arah pembangunan Mandalika yang dianggap terlalu sentralistik dan lebih mementingkan kepentingan korporasi dibandingkan masyarakat lokal. “Desain dan arah pengembangan Mandalika cenderung top-down. Pembangunan pariwisata di Mandalika terlihat lebih mengutamakan investasi global dan target pendapatan BUMN, daripada mendengar aspirasi warga lokal,” ujarnya.

Alfi menilai bahwa masyarakat NTB selama ini hanya dilibatkan sebatas pelaku UMKM kecil atau tenaga kerja kasar, bukan sebagai mitra strategis pembangunan.

“Ini bukan sekadar ketimpangan ekonomi, tapi ketimpangan peran. Masyarakat NTB hanya menikmati remah-remah dari keuntungan bisnis berskala nasional dan internasional yang berlangsung di tanah mereka sendiri,” tegasnya.

Ia juga menyayangkan betapa lemahnya daya tawar pemerintah daerah NTB dalam memperjuangkan kepentingan lokal. Bahkan, menurutnya, ketika ada perwakilan saja suara masyarakat bisa disepelekan, apalagi ketika tidak ada wakil NTB sama sekali.

“Ketika tidak ada perwakilan NTB di ITDC, keputusan penting seperti penataan ruang, pengelolaan lingkungan, hingga CSR, berpotensi tidak berpihak pada nilai-nilai dan kebutuhan masyarakat lokal,” kata Alfi.

Ia pun menutup pernyataannya dengan nada prihatin. “Saya khawatir ini adalah potret kegagalan komunikasi dan diplomasi politik pemprov NTB. Ini menunjukkan lemahnya posisi tawar birokrasi kita di tingkat pusat. Publik pun akan melihat pembangunan pariwisata Mandalika masih jauh dari prinsip inklusivitas dan keadilan,” tandasnya.