Pojok NTB – Kasus pernikahan dini di Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) masih menjadi persoalan serius. Hingga Juni 2025, tercatat sudah ada 100 kasus pernikahan dini yang terjadi di wilayah ini.
Aktivis perempuan, Nurjannah, mengungkapkan bahwa angka tertinggi terjadi di Kabupaten dan Kota Bima, disusul Sumbawa, Dompu, Kabupaten Sumbawa Barat (KSB), dan yang paling sedikit terjadi di Pulau Lombok.
“Ini merupakan tanda bahaya yang harus menjadi kewaspadaan kita semua. Artinya, pernikahan dini kini tidak hanya terjadi di Pulau Lombok, tapi sudah merambat ke Pulau Sumbawa,” ujar Nurjannah.
Ia menilai bahwa maraknya pernikahan dini tidak bisa dilepaskan dari kuatnya budaya patriarki dan minimnya ruang diskusi tentang seksualitas di tengah masyarakat.
“Budaya patriarki adalah persoalan pertama. Kedua, budaya seksualitas yang dianggap tabu untuk dibicarakan padahal sangat penting untuk diedukasi,” jelasnya.
Nurjannah juga menekankan pentingnya mengubah cara pandang atau mindset dalam menangani persoalan ini. Ia menolak rencana peleburan Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, dan Pengendalian Penduduk (DP3AP), karena khawatir akan menghilangkan sektor penggerak utama dalam upaya pencegahan.
“Pencegahan pernikahan dini harus melibatkan pentahelix: pemerintah, akademisi, dunia usaha, media, dan masyarakat. Tapi semua kembali kepada kemauan pemerintah provinsi, apakah mau mengubah mindset ini atau tidak, karena dampaknya bersifat jangka panjang,” pungkasnya.