
Pojok NTB – Perekonomian Nusa Tenggara Barat (NTB) memasuki 2025 dengan sinyal peringatan. Data menunjukkan, ekonomi NTB pada triwulan pertama (Tw1) 2025 mengalami kontraksi sebesar 1,47 persen (year-on-year) dibanding periode yang sama tahun sebelumnya.
Hal ini diungkapkan oleh Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Mataram (FEB UNRAM), Muhamad Bai’ul Hak, yang menyoroti lemahnya fondasi ekonomi NTB dan ketergantungan yang terlalu besar pada sektor-sektor tertentu.
“Fundamental ekonomi kita masih lemah, terlalu bergantung pada sektor pertambangan dan pertanian. Di awal tahun, dua sektor ini belum bisa diandalkan karena ekspor tambang belum aktif dan sektor pertanian masih dalam masa tanam,” jelas Bai’ul, Kamis (15/5/2025).
Tak hanya itu, Bai’ul juga menggarisbawahi bahwa pengeluaran pemerintah pada triwulan pertama belum signifikan, sehingga belum mampu memberikan dorongan berarti bagi perputaran ekonomi.
Menurutnya, NTB tidak cukup hanya mengejar angka pertumbuhan ekonomi yang positif, tapi harus mulai membangun ekonomi yang inklusif—yakni pertumbuhan yang diiringi dengan peningkatan kualitas hidup masyarakat secara merata.
“Kita tidak boleh lagi terjebak pada growth without development. Ekonomi tumbuh tapi semu. Banyak yang bekerja, tapi tetap miskin,” ujarnya.
Bai’ul Hak menyebut bahwa 33 persen dari total angkatan kerja NTB saat ini bekerja di sektor pertanian yang berbasis desa, sementara kantong-kantong kemiskinan juga berada di desa-desa. Ini mencerminkan bahwa pertumbuhan belum berhasil menyentuh masyarakat bawah secara optimal.
Bai’ul Hak mendorong Pemerintah NTB untuk melakukan transformasi ekonomi, dari daerah agraris menuju basis industri sebagai syarat mutlak untuk mencapai growth within development—pertumbuhan yang sejalan dengan pembangunan dan kesejahteraan.
“Ketika fiskal daerah tidak cukup, pemerintah harus mampu menarik dana dari luar. Investasi adalah jalan terbaik saat APBN tengah efisiensi,” tegasnya.
Lebih lanjut, ia mengingatkan pemerintah agar tidak lagi melakukan pendekatan yang biasa-biasa saja.
“Jangan lagi business as usual! Diperlukan inovasi dan strategi untuk mendorong sektor-sektor lain naik kelas. Tujuannya agar pertumbuhan ekonomi benar-benar inklusif dan merata,” pungkasnya.