NTB, Opini  

Mengelola Kemenangan, Bukan Sekadar Merayakannya

Oleh : M.Fihiruddin “ Dir. Lombok Global Institut (LOGIS NTB)”

Kemenangan dalam panggung politik sering kali dianggap sebagai puncak pencapaian. Euforia sesaat menutupi kompleksitas yang membayangi. Bagaimana tim sukses yang telah solid selama kampanye dapat bertransformasi menjadi tim yang efektif dalam mengelola kekuasaan? Tata kelola yang buruk pasca-kemenangan adalah resep pasti untuk kehancuran politik dan kekecewaan publik. Pada kesempatan ini saya akan membahas pentingnya tata kelola tim yang matang dalam mengelola kemenangan di panggung politik, serta tantangan yang muncul dan solusi yang bisa diterapkan.

Tim kampanye, secara alamiah, adalah mesin perang yang dirancang untuk satu tujuan: menang. Strukturnya sering kali bersifat ad-hoc, fleksibel, dan reaktif terhadap dinamika lapangan. Kekuasaan dan hierarki didasarkan pada kontribusi, loyalitas, dan kemampuan mobilisasi. Namun, setelah kemenangan, tim ini harus bertransformasi menjadi tim pemerintahan yang memiliki tujuan berbeda: melayani publik, mengimplementasikan kebijakan, dan membangun sistem yang berkelanjutan.

Tantangan utama dalam tim transisi ini adalah mengelola ekspektasi. Setiap anggota tim kampanye, dari relawan hingga pimpinan senior, merasa memiliki saham dalam kemenangan dan berharap mendapatkan imbalan. Tanpa tata kelola yang jelas, hal ini dapat memicu konflik internal, perebutan jabatan, dan pada akhirnya, mengganggu kinerja pemerintahan. Seperti yang diungkapkan oleh Mendagri pada tahun 2013, tugas tim sukses seharusnya berakhir setelah pelantikan, dan biarkan sistem yang bekerja.

Salah satu isu paling sensitif pasca-kemenangan adalah pembagian kekuasaan. Kekuasaan tidak hanya terwujud dalam bentuk jabatan formal, tetapi juga dalam akses ke pembuat keputusan, kontrol atas sumber daya, dan pengaruh dalam kebijakan. Tim politik yang berhasil mengelola kemenangan adalah tim yang mampu mendistribusikan kekuasaan secara bijak, bukan hanya sebagai hadiah politik, tetapi sebagai instrumen untuk mencapai visi dan misi yang dijanjikan.

Prinsip checks and balances yang berlaku dalam struktur negara juga relevan dalam tata kelola tim politik. Pemerintahan yang sehat membutuhkan pemimpin yang kuat, tetapi juga tim yang berani memberikan masukan kritis. Jika kekuasaan terkonsentrasi pada satu atau dua orang saja, risiko terjadinya penyalahgunaan kekuasaan akan meningkat. Keterbukaan dalam pengambilan keputusan dan mekanisme akuntabilitas yang jelas dapat menjadi penyeimbang alami terhadap konsentrasi kekuasaan.

Tim sukses politik biasanya terdiri dari koalisi berbagai kelompok kepentingan, termasuk partai politik, relawan, pengusaha, dan tokoh masyarakat. Kemenangan adalah hasil kolaborasi mereka, tetapi pasca-kemenangan, kepentingan-kepentingan ini dapat bertabrakan. Tata kelola tim yang baik harus mampu menjadi mediator dan mencari titik temu. Membangun komunikasi yang efektif dan mempromosikan pendekatan kolaboratif adalah kunci untuk menjaga koalisi tetap utuh.

Pemimpin terpilih harus mampu merangkul semua pihak, termasuk mereka yang berada di luar lingkaran terdekat tim sukses. Hal ini penting untuk memastikan bahwa kebijakan yang dibuat tidak hanya menguntungkan kelompok tertentu, melainkan seluruh masyarakat. Jika tidak, tim politik yang semula bersemangat untuk melayani publik bisa berubah menjadi arena perebutan kue kekuasaan.

Kemenangan bukanlah akhir dari perjalanan, tetapi awal dari tanggung jawab yang lebih besar. Tim yang sukses dalam mengelola kemenangan adalah tim yang tidak hanya merayakan, tetapi juga merefleksikan diri. Budaya tim yang bertanggung jawab dan berorientasi pada hasil jangka panjang perlu ditanamkan. Ini termasuk membangun akuntabilitas, mendorong transparansi, dan merayakan keberhasilan yang kolektif, bukan hanya individu.
Contohnya adalah dengan mendokumentasikan janji-janji kampanye dan secara rutin melaporkan kemajuan kepada publik. Dengan begitu, tim politik akan selalu terikat pada komitmen mereka dan terhindar dari godaan untuk menyalahgunakan kekuasaan. Seperti yang disarankan oleh KPU, periode pasca-pemilu harus menjadi momentum bagi pemulihan nasional (national healing), bukan untuk memelihara dendam politik.

Tata kelola tim sukses dalam mengelola kemenangan di panggung politik adalah pekerjaan yang sama pentingnya, jika tidak lebih sulit, dari memenangkan pemilu itu sendiri. Hal ini membutuhkan transisi mental yang radikal dari mentalitas kompetisi ke mentalitas kolaborasi. Distribusi kekuasaan yang bijak, kemampuan mengakomodasi kepentingan beragam, dan pembangunan budaya tim yang bertanggung jawab adalah pilar-pilar yang harus ditegakkan.

Kemenangan sejati di panggung politik bukan hanya tentang meraih kekuasaan, tetapi tentang bagaimana kekuasaan itu digunakan untuk melayani masyarakat dengan sebaik-baiknya.