FORNAS VIII 2025 sebentar lagi digelar di Nusa Tenggara Barat. Festival Olahraga Rekreasi Nasional ini disebut sebagai ajang rakyat, pesta olahraga masyarakat terbesar di Indonesia. Tapi pertanyaannya, masyarakat yang mana? Apakah benar FORNAS milik seluruh lapisan masyarakat, atau hanya segelintir kalangan menengah ke atas yang mengerti dan menikmati perhelatannya?
Di tengah gegap gempita publikasi dan promosi besar-besaran di kalangan pemerintah, komunitas dan elite penggiat olahraga, masih banyak warga biasa yang tidak tahu-menahu tentang FORNAS. Penelusuran sederhana di beberapa lingkungan di Kota Mataram—yang notabene adalah pusat kegiatan ekonomi dan informasi di NTB—menunjukkan fakta mencengangkan: mayoritas warga tidak tahu apa itu FORNAS.
Lebih mengejutkan lagi, para pelaku UMKM kecil yang menjajakan dagangannya di pinggir jalan atau pasar tradisional juga tidak memiliki gambaran apa manfaat langsung FORNAS terhadap usaha mereka. Ini tentu menjadi ironi. Bagaimana bisa sebuah ajang nasional yang digadang-gadang membawa berkah ekonomi, justru tak terdeteksi gaungnya di tengah masyarakat yang seharusnya menjadi penikmat utama?
Belum lagi jika menyinggung soal peran media lokal. Banyak jurnalis dan pegiat media di NTB merasa tidak dilibatkan secara bermakna dalam proses publikasi FORNAS. Padahal, mereka adalah jembatan utama yang bisa menjelaskan dan mendekatkan makna FORNAS kepada masyarakat awam.
Kondisi ini memperkuat asumsi bahwa FORNAS di NTB seperti panggung eksklusif, lebih akrab dengan para sosialita dan komunitas hobi olahraga tertentu, daripada menjadi ajang pemberdayaan rakyat sebagaimana semangat yang digaungkan.
Tentu saja, kita tidak sedang menyalahkan siapa pun. Tapi ini saat yang tepat untuk bertanya: Tujuan FORNAS itu untuk siapa dan untuk apa? Apakah hanya demi prestise penyelenggaraan? Atau sungguh-sungguh sebagai alat pemberdayaan, peningkatan ekonomi, dan kebahagiaan masyarakat?
Pemerintah Provinsi NTB harus membuka ruang evaluasi yang jujur dan profesional pasca FORNAS. Evaluasi yang tidak hanya berpatokan pada sukses teknis penyelenggaraan dan angka statistik semata. Tetapi juga menyentuh hal mendasar: seberapa dalam FORNAS menyentuh hati, hidup, dan dapur masyarakat kecil?
Jika ingin benar-benar menuju “NTB Makmur Mendunia”, maka keberhasilan tak boleh hanya diukur dari jumlah hotel yang penuh dan transportasi yang laris. Harus juga dari senyum pedagang kecil, dari keterlibatan warga desa, dan dari pemahaman warga kota tentang apa yang sebenarnya sedang terjadi di tanah mereka.
Fornas boleh saja menjadi simbol kebangkitan, tapi tanpa keterlibatan masyarakat luas, ia bisa menjadi kemegahan semu. Maka pertanyaannya tetap: FORNAS, milik siapa sebenarnya?