Akal-Akalan Anggaran BTT: Mengapa Uang Rakyat NTB Diputar di Pos Gelap?

Oleh: M.Fihiruddin (Dir.LOGIS NTB)

Polemik pergeseran anggaran Belanja Tidak Terduga (BTT) sebesar Rp500 miliar di APBD murni Nusa Tenggara Barat (NTB) 2025 menjadi sorotan tajam publik.

Awalnya ditujukan untuk situasi darurat, penggunaan dana BTT tersebut justru dinilai tidak transparan, seolah uang rakyat diputar di “pos gelap” tanpa rincian yang jelas.

Tujuan Mulia yang Disalahgunakan

Secara prinsip, BTT dialokasikan untuk kebutuhan mendesak dan tidak terduga, seperti penanganan bencana alam. Ironisnya, alih alih digunakan saat dibutuhkan misalnya untuk korban banjir di Wera, dana ini justru digeser ke sejumlah Organisasi Perangkat Daerah (OPD) untuk program yang tidak bersifat darurat.

Kritik keras datang dari Fraksi Persatuan Perjuangan Restorasi (PPR) DPRD NTB, yang menyoroti pergeseran anggaran BTT ini. Dari total Rp500,970 miliar yang tersedia, Rp484,560 miliar telah digunakan melalui mekanisme pergeseran, meninggalkan sisa yang tidak seberapa. Anggota dewan menilai penggunaan ini tidak sesuai peruntukannya, sehingga melenceng dari semangat transparansi dan akuntabilitas.

Pergeseran anggaran BTT ini menimbulkan beberapa pertanyaan serius:

1. Prioritas yang keliru: Saat terjadi banjir, alih-alih menggunakan BTT, Pemprov NTB justru mengandalkan OPD lain dan memerlukan penetapan status darurat untuk mengakses bantuan dari BNPB. Ini mengindikasikan bahwa dana BTT mungkin disiapkan untuk keperluan lain.
2. Keperluan mendesak yang patut dipertanyakan: BPKAD NTB mengklaim bahwa penggunaan BTT juga bisa untuk selain bencana, namun ini bertentangan dengan semangat awal pengalokasian dana. Contohnya, penggunaan BTT untuk perbaikan gedung dewan menuai kritik karena dianggap tidak mendesak.
3. Kurangnya rincian dan transparansi: Ketiadaan rincian yang jelas terkait pergeseran ini menimbulkan spekulasi dan ketidakpercayaan publik. Masyarakat berhak tahu ke mana saja uang tersebut mengalir.
4. Dampak Buruk bagi Rakyat. Penggunaan anggaran yang tidak sesuai peruntukannya berpotensi merugikan masyarakat NTB secara langsung. Dana yang seharusnya menjadi jaring pengaman saat bencana justru digunakan untuk hal-hal yang tidak mendesak. Kondisi ini bisa berakibat fatal ketika bencana besar terjadi dan dana cepat tidak tersedia.

Masyarakat dan organisasi seperti FITRA NTB menuntut transparansi dari pemerintah provinsi. Ada kebutuhan mendesak untuk:
1. Audit menyeluruh: BPK perlu mengaudit penggunaan dana BTT secara detail untuk mengungkap potensi penyimpangan.
2. Rincian penggunaan yang transparan: Pemerintah wajib mempublikasikan rincian penggunaan BTT secara terbuka kepada publik, termasuk alasan penggeseran dana ke OPD lain.
3. Penegakan hukum: Jika ditemukan adanya penyalahgunaan, aparat penegak hukum harus segera mengambil tindakan tegas.

Pergeseran anggaran BTT NTB 2025 menjadi cerminan bahwa tata kelola keuangan daerah masih rentan terhadap penyimpangan. Alih-alih menjadi solusi saat darurat, anggaran BTT justru menjadi alat manuver politik dan birokrasi, merusak kepercayaan publik terhadap pemerintah. Transparansi dan akuntabilitas adalah kunci untuk mengembalikan integritas dan memastikan bahwa uang rakyat benar-benar digunakan untuk kepentingan rakyat.