PHK 518 Honorer di NTB Dinilai Dapat Picu Gejolak Sosial, Pemerintah Diminta Bijak

Pojok NTB – Rencana merumahkan 518 tenaga honorer di Nusa Tenggara Barat (NTB) dinilai sebagai keputusan yang dilematis dan berpotensi memicu ketegangan sosial. Hal ini disampaikan oleh Dr. Alfi Sahri, dosen Universitas Bima Internasional MFH yang memiliki kepakaran di bidang Antropologi Politik.

Menurutnya, ketiadaan nama para honorer tersebut dalam database Badan Kepegawaian Negara (BKN) menjadi penyebab utama gagalnya mereka terjaring sebagai Aparatur Sipil Negara (ASN) Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) paruh waktu.

“Ancaman pemutusan hubungan kerja massal sudah di depan mata. Namun pemerintah daerah tidak boleh serta-merta melakukan PHK tanpa kajian komprehensif terkait alternatif kebijakan lain untuk masa depan para honorer,” ujarnya.

Alfi memperingatkan bahwa pemutusan hubungan kerja bisa menimbulkan dampak serius, baik secara ekonomi maupun sosial. Kehilangan sumber pendapatan dapat memicu gelombang pengangguran baru dan tekanan ekonomi bagi keluarga para honorer. Selain itu, potensi ledakan protes publik juga terbuka lebar, mengingat aksi demonstrasi besar-besaran pernah terjadi sebelumnya.

“Merumahkan 518 honorer di tengah masifnya kelulusan ASN PPPK paruh waktu akan menimbulkan kesan ketidakadilan dan diskriminasi. Situasi ini sangat rawan memancing kerawanan sosial,” tegasnya.

Ia menekankan bahwa pemerintah perlu bijak dan berhati-hati dalam merumuskan solusi, salah satunya dengan mempertimbangkan skema outsourcing agar para honorer tetap dapat bekerja dan menghidupi keluarganya.

“Kontribusi dan jasa tenaga honorer ini harus diapresiasi. Jika mereka diberhentikan, akan terjadi kekosongan sumber daya manusia yang dapat memperburuk pelayanan publik. Pemerintah jangan gegabah atau semena-mena. Pertimbangan aspek kemanusiaan, masa kerja, dan keadilan sosial bagi mereka harus menjadi prioritas,” tutup Alfi.