Staff Ahli Gubernur Sebut Gas Melon Langka di NTB Bukan Karena Maulid, Distribusi Buruk Jadi Biang Kerok

Pojok NTB – Kelangkaan LPG 3 kilogram (gas melon) kembali menjadi sorotan panas di Nusa Tenggara Barat (NTB). Bukan hanya di Lombok, fenomena ini juga meluas hingga Sumbawa. Sejumlah pihak menyebut perayaan Maulid Nabi Muhammad SAW sejak awal September sebagai pemicu lonjakan permintaan. Namun, banyak pihak menilai alasan tersebut terlalu menyederhanakan masalah.

“Benarkah semata-mata karena Maulid gas melon tiba-tiba sulit ditemukan? Atau ada masalah distribusi yang lebih serius?” ujar Staf Ahli Gubernur NTB Bidang Sosial dan Kemasyarakatan, Dr. H. Ahsanul Khalik.

Ia menegaskan, perayaan Maulid memang dirayakan meriah oleh masyarakat Sasak, tetapi tidak dalam skala yang mengubah pola konsumsi secara drastis. “Memasak untuk tamu atau keluarga tidak bisa disamakan dengan pesta besar yang butuh tambahan tabung gas signifikan. Bahkan, banyak desa mengatur jadwal Maulid secara bergiliran sehingga permintaan menyebar, bukan menumpuk,” jelasnya.

Fakta lain menunjukkan kelangkaan juga terjadi di Sumbawa, daerah yang tidak merayakan Maulid semeriah Lombok. Hal ini membuktikan bahwa lonjakan konsumsi akibat Maulid bukan satu-satunya penyebab.

Padahal, Pertamina Patra Niaga Jatimbalinus sudah menyalurkan tambahan lebih dari 76 ribu tabung sejak awal September untuk mengantisipasi lonjakan permintaan. Secara teori, jumlah itu cukup untuk menutup kebutuhan. Namun, masyarakat tetap kesulitan mendapatkan LPG, bahkan harga di lapangan meroket hingga Rp45.000 per tabung—jauh di atas Harga Eceran Tertinggi (HET) resmi Rp18.000–Rp20.000.

Situasi ini mengindikasikan masalah lebih dalam pada tata niaga dan distribusi. Dugaan praktik “memborong” tabung dari pangkalan untuk dijual kembali dengan harga tinggi hingga oplosan isi tabung subsidi ke tabung nonsubsidi memperkuat indikasi kebocoran distribusi.

Kebijakan baru pembelian LPG 3 kg melalui pangkalan resmi dengan sistem by-name dan by-address juga menimbulkan friksi. Banyak pengecer tradisional tak lagi diperbolehkan menjual, sehingga masyarakat harus antre di pangkalan yang jumlahnya terbatas. Akibatnya, distribusi tidak merata dan membuka celah permainan harga.

Para pengamat menilai, menyalahkan Maulid hanya mengaburkan masalah inti. “Maulid Nabi adalah tradisi sakral. Menyebutnya sebagai penyebab utama kelangkaan LPG sama saja dengan mengaburkan persoalan tata kelola distribusi,” tegas Ahsanul.

Pemerintah, Pertamina, dan aparat penegak hukum diminta segera bertindak. Langkah-langkah yang disarankan meliputi audit stok pangkalan, pengawasan harga di lapangan, penindakan terhadap praktik oplosan, serta transparansi distribusi LPG agar masyarakat bisa ikut mengawasi.

Masyarakat berharap gas melon kembali tersedia dengan harga wajar. “Jangan sampai rakyat kecil yang hanya ingin memasak untuk keluarganya menjadi korban dari distribusi yang tidak tertata,” tandas Ahsanul.

Dengan membuka tabir kelangkaan hingga ke akar, kepercayaan publik dapat dipulihkan dan subsidi energi benar-benar tersalurkan kepada pihak yang berhak.