Mataram pagi ini diguyur gerimis. Jalan Udayana tampak lengang, seolah ikut menahan napas di tengah tanda tanya besar, ke manakah arah NTB di bawah nakhoda baru?
Tujuh bulan lamanya, tongkat komando provinsi berpindah dari tangan seorang politisi–ekonom, Zulkieflimansyah, kepada seorang diplomat–birokrat, Lalu Muhammad Iqbal.
Namun yang tersisa kini justru gema kegelisahan.
-***-
Era Zulkieflimansyah, atau akrab disebut Doktor Zul, tercatat dalam sejarah dengan ujian berlapis.
Ia memimpin NTB saat gempa bumi dahsyat 2018 meruntuhkan rumah, masjid, dan sekolah. Ia pula yang menjaga denyut ekonomi di kala pandemi COVID-19 menghantam.
Seolah ia mengemudikan kapal di tengah badai, namun kapal itu tetap terapung. Bahkan, beberapa indikator ekonomi masih mampu naik perlahan.
Di bawah Doktor Zul, NTB belajar berdiri setelah terpukul, dan bahkan mencoba berlari di tengah keterbatasan.
-***-
Kini, pada fase ketika NTB disebut-sebut siap lepas landas, tongkat itu berpindah ke Lalu Muhammad Iqbal.
Ia datang dengan reputasi diplomat dan teknokrat. Harapan dititipkan, semoga tangan dinginnya mampu menata ulang birokrasi, menguatkan tata kelola, sekaligus membuka jalan investasi baru.
Namun tujuh bulan berselang, wajah NTB justru tampak carut-marut.
Ekonomi kuartal pertama minus 1,47%. Kuartal kedua tetap terperosok. Belanja daerah tersendat, serapan anggaran jauh dari target.
Ruang sidang DPRD penuh sorotan, kritik, bahkan cemoohan.
Pembahasan anggaran belanja daerah berubah menjadi teka-teki, penuh misteri dan ketidakpastian.
Di kampung, petani mulai bertanya, *“Kenapa pupuk makin mahal tapi hasil panen tak sebanding?”*
Di pasar swete dan kebun Roeq, inaq Agul berkeluh, *“Pembeli makin sepi, harga bawang, cabai dan beras makin mencekik.”*
-***-
Apakah ini sekadar fase transisi? Ataukah tanda awal sebuah jalan petaka?
Sejarah mengingatkan kita setiap kepemimpinan diuji bukan di awal janji, melainkan di tengah krisis nyata.
Joseph Schumpeter pernah menulis dalam Capitalism, Socialism and Democracy (1942), bahwa pembangunan ekonomi selalu membawa “proses penghancuran kreatif” old order runtuh, new order harus lahir.
Pertanyaannya, apakah Iqbal sanggup melahirkan tatanan baru NTB, atau ia hanya akan menjadi saksi runtuhnya harapan lama?
-***-
Kepemimpinan, kata Max Weber, adalah soal legitimasi. Legitimasi lahir dari kepercayaan rakyat, dan kepercayaan itu hanya bisa tumbuh jika janji bertemu bukti.
Sementara Dani Rodrik dalam The Globalization Paradox (2011) mengingatkan, pertumbuhan daerah dan negara hanya mungkin jika ada kombinasi antara stabilitas makro dan inovasi lokal yang berpihak pada rakyat kecil.
Hari ini, NTB membutuhkan lebih dari sekadar diplomasi kata-kata. Ia butuh tindakan nyata, belanja daerah yang terserap, lapangan kerja yang tumbuh, daya beli yang kembali hidup.
Karena rakyat tak makan dari pidato, melainkan dari nasi di meja makan.
-***-
Maka, ketika kita menyambut era baru ini, doa bercampur harap :
“Selamat datang di NTB baru. Semoga bukan jalan petaka, melainkan jalan keselamatan.”
Referensi
– Schumpeter, Joseph A. Capitalism, Socialism and Democracy. Harper & Brothers, 1942.
– Rodrik, Dani. The Globalization Paradox: Democracy and the Future of the World Economy. W\.W. Norton & Company, 2011.
– Weber, Max. Economy and Society. University of California Press, 1978.