Tersangka Kasus Kematian Brigadir di Gili Trawangan Didampingi Aliansi Reformasi Polri NTB

Diduga Tidak Terlibat Langsung, Perempuan Asal Banjarmasin Terancam Jadi Korban Peradilan Sesat

Pojok NTB – Aliansi Reformasi Polri untuk Masyarakat NTB resmi memberikan bantuan hukum kepada M, seorang perempuan muda asal Banjarmasin, Kalimantan Selatan, yang ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus kematian Brigadir Muhammad Nurhadi (MN), anggota Propam Polda NTB. Brigadir MN ditemukan meninggal dunia secara tidak wajar di kolam renang salah satu vila di Gili Trawangan, Kabupaten Lombok Utara, pada 16 April 2025.

Penetapan M sebagai tersangka diumumkan berdasarkan Surat Ketetapan Nomor S.Tap/115/V/RES.1.6/2025/Ditreskrimum tertanggal 17 Juni 2025. Ia diduga terlibat dalam tindak pidana penganiayaan yang menyebabkan kematian, sebagaimana diatur dalam Pasal 351 ayat (3) dan/atau Pasal 359 jo Pasal 55 KUHP. M didakwa turut serta bersama dua anggota kepolisian lainnya, yakni Kompol YG dan Ipda HC, yang juga ditetapkan sebagai tersangka.

Aliansi Reformasi Polri menilai bahwa proses hukum terhadap M sarat dengan potensi ketidakadilan (unfair trial) dan peradilan sesat (miscarriage of justice). Dalam rilis resminya, Aliansi menyoroti posisi rentan M yang hanya seorang perempuan muda, bukan aparat, tidak memiliki relasi kuasa atau kedekatan dengan korban, dan baru pertama kali berkunjung ke NTB.

“M tidak mengenal korban sebelumnya, baru bertemu beberapa jam sebelum kejadian. Ia datang ke Lombok karena diundang Kompol YG untuk menemani liburan dan menerima bayaran jasa sebesar Rp10 juta,” kata Yan Mangandar Putra, perwakilan Aliansi Reformasi Polri untuk Masyarakat NTB.

Sejak ditetapkan sebagai tersangka, M mengalami tekanan psikologis berat. Dalam proses pemeriksaan awal, ia sempat mengalami kondisi kerasukan, yang disebut sebagai manifestasi stres pascatrauma. Pemeriksaan psikologis telah dilakukan oleh tim dari Universitas Mataram dan UPTD PPA NTB pada 30 Juni hingga 1 Juli 2025.

Pada 2 Juli 2025, M resmi ditahan di Rutan Polda NTB berdasarkan Surat Perintah Penahanan Nomor SP.Han/80/VII/RES.1.6/2025. Aliansi langsung mengajukan surat permohonan penangguhan penahanan kepada Direktur Ditreskrimum Polda NTB, disertai pernyataan jaminan dari pihaknya.

Dalam keterangannya kepada penyidik, M mengaku tidak menyaksikan langsung peristiwa penganiayaan terhadap Brigadir MN. Saat kejadian, M mengaku sedang mandi lebih dari 20 menit dan sebelumnya melihat korban masih dalam keadaan baik. Ia kemudian menemukan jasad Brigadir MN di dasar kolam dan langsung berteriak meminta pertolongan kepada Kompol YG dan Ipda HC.

Otopsi menunjukkan adanya luka-luka serius di tubuh korban, termasuk di bagian wajah, tangan, punggung, dan kepala, yang diduga akibat kekerasan sebelum ditenggelamkan.

Aliansi menyoroti banyaknya kejanggalan, di antaranya:

• Prosedur penanganan jenazah oleh aparat tidak sesuai standar (klaim awal menyebutkan korban tenggelam biasa).

• Ada upaya menutupi fakta penggunaan narkoba dan alkohol dalam kejadian tersebut.

• M merupakan pihak yang paling tidak memiliki pengaruh dibanding dua tersangka lainnya yang merupakan atasan korban.

• Proses hukum berlangsung lambat, termasuk otopsi yang baru dilakukan lewat ekshumasi 15 hari pascakejadian.

Aliansi mendesak agar proses hukum terhadap M dilakukan secara terbuka, transparan, dan akuntabel. Mereka khawatir M akan menjadi korban dari praktik hukum yang tidak adil hanya karena ia perempuan muda dari kalangan tidak berkuasa.

“Ini bukan soal siapa bersalah, tapi soal bagaimana hukum dijalankan dengan benar, tidak diskriminatif, dan menjunjung tinggi asas praduga tak bersalah,” ujar Yan.

Aliansi juga meminta perhatian dari lembaga-lembaga independen seperti Komnas Perempuan, Kompolnas, dan Ombudsman untuk turut mengawasi kasus ini agar tidak terjadi penyimpangan yang merugikan pihak lemah dalam proses hukum.