Pojok NTB – Pemerintah pusat sejak 2024 terus memacu percepatan penataan kepegawaian, mulai dari pengangkatan CPNS 2024, perekrutan PPPK penuh waktu, hingga pembukaan formasi PPPK paruh waktu (PPPK PW). Namun di balik berbagai kebijakan itu, masih ada ribuan tenaga honorer yang belum mendapatkan kepastian nasib.
Kadiskominfotik NTB, Yusron Hadi, di Mataram, Selasa, menegaskan bahwa proses CPNS 2024 dan PPPK penuh waktu telah rampung, sementara PPPK PW sedang berjalan. “Di luar itu semua, masih ada tenaga honorer yang belum termasuk dalam dua skema tersebut sehingga tidak bisa diusulkan ke pemerintah pusat karena terkendala aturan Kemenpan RB,” ujarnya.
Di NTB, jumlah honorer yang belum terakomodasi mencapai 7.523 orang. Jumlah terbesar berada di Lombok Timur (1.692 orang) dan Lombok Barat (1.632 orang). Sementara 518 honorer lingkup Pemprov NTB masih menunggu kepastian, jumlah yang ternyata lebih kecil dibanding Kabupaten Bima, KSB, Lombok Tengah, dan Kota Mataram.
“Saudara-saudara kita berharap ada kebijakan yang berpihak kepada mereka,” kata Yusron.
Namun harapan tersebut berbenturan dengan kebijakan kepegawaian yang sepenuhnya dikendalikan pemerintah pusat. Dengan sistem “one system single policy”, seluruh daerah wajib mengikuti aturan yang sudah ditetapkan.
“Ada garis demarkasi tegas. Jika kita melanggar, konsekuensi hukumnya nyata, dan itu bukan sesuatu yang kita inginkan,” tegasnya.
Menurut Yusron, Pemprov NTB tidak tinggal diam. Mereka telah mengirim surat resmi, bertemu dengan pejabat Kemenpan RB dan BKN, hingga melakukan audiensi dengan DPR RI bersama legislatif daerah. Semua daerah, kata dia, melakukan hal serupa, karena masalah honorer ini terjadi secara nasional.
Pemerintah pusat melalui surat Kemenpan RB tanggal 25 November 2025 kembali menegaskan batasan siapa saja yang dapat diangkat sebagai pegawai non-ASN. NTB pun mengikuti aturan tersebut.
Meski ada celah kebijakan internal daerah, Yusron menyebut mengakomodasi 518 honorer secara internal tidaklah sederhana. “Ada yang sudah melewati batas usia pensiun, ada yang mengundurkan diri, dan ada 231 orang yang tidak mengikuti seleksi PPPK dengan berbagai alasan,” jelasnya.
Sisanya, 287 orang, merupakan tenaga honorer yang masa kerjanya kurang dari dua tahun atau pernah mengikuti tes CPNS tetapi tidak lulus. “Jika 287 orang ini diakomodir, kita harus sangat berhati-hati karena berpotensi berhadapan dengan kebijakan besar penataan ASN dari Kemenpan RB,” ujarnya.
Ia juga menepis asumsi bahwa honorer bisa dialihkan ke skema outsourcing. Menurutnya, aturan saat ini belum memungkinkan. “Outsourcing hanya dibolehkan untuk tenaga dasar seperti kebersihan, pengamanan, dan pramusaji. Aturan teknisnya untuk pegawai pemerintah pun belum keluar,” ungkapnya.
Sementara opsi penempatan di lembaga daerah pun tidak realistis. Banyak lembaga tidak memiliki kapasitas anggaran untuk menyerap pegawai baru tanpa menambah beban belanja pegawai. “Jika dipaksakan, bisa terjadi inefisiensi dan menurunkan kualitas pelayanan,” tambahnya.
Di akhir penyampaian, Yusron kembali menegaskan bahwa harapan kini tertumpu pada pemerintah pusat. “Kondisi ini bukan hanya terjadi di NTB, tetapi juga dialami banyak daerah lain. Kabupaten dan kota se-NTB pun menghadapi persoalan yang sama,” katanya.













