Geopark Tambora Targetkan Status UNESCO Global Geopark di Tahun 2026

Pojok NTB – Geopark Tambora kembali menjadi sorotan setelah muncul rencana pengajuannya sebagai UNESCO Global Geopark (UGG). General Manager Geopark Tambora, Makdis Sari, menjelaskan bahwa proses menuju pengakuan dunia tersebut memerlukan persiapan panjang, dukungan penuh lintas sektor, serta lobi kuat hingga ke tingkat kementerian.

Makdis memaparkan bahwa Geopark Tambora resmi ditetapkan sebagai Geopark Nasional pada November 2017. Namun, status tersebut belum naik tingkat karena pada tahun 2025 proses revalidasi nasional diundur. “Revalidasinya di-reschedule ke tahun 2026. Dan di tahun itu juga kita harus mulai mempersiapkan diri menuju UNESCO Global Geopark,” katanya.

Makdis menjelaskan bahwa setiap tahun Kementerian ESDM hanya bisa mengajukan dua geopark dari Indonesia ke UNESCO. Artinya, Tambora harus bersaing dengan geopark-geopark nasional lain yang juga ingin melaju ke tingkat global.

“Indonesia sekarang punya 12 UNESCO Global Geopark, dan itu membuat kita nomor tiga terbanyak di dunia. Jadi untuk maju sebagai kandidat harus bersaing secara nasional dulu,” ujarnya.

Ia menegaskan bahwa dukungan semua pihak sangat dibutuhkan, terutama dari pemerintah pusat. “Yang berhak mengusulkan dan melobi itu harus Menteri ESDM langsung. Jadi memang harus jalan di level atas dulu. Kalau pusat sudah bergerak, semua yang di bawah ikut bergerak,” tegasnya.

Meski persaingan ketat, Makdis optimistis Tambora memiliki nilai keunggulan internasional yang sangat kuat. Letusan Gunung Tambora tahun 1815 sudah dikenal dunia sebagai salah satu peristiwa paling dahsyat dalam sejarah. Dampaknya menyebabkan fenomena the year without summer di Eropa, gagal panen, wabah penyakit, hingga memicu inovasi sepeda modern.

“Tambora itu punya International Geological Value yang jauh lebih kuat dibanding banyak geopark lain,” jelas Makdis.

Tak hanya itu, Geopark Tambora juga memiliki elemen penting lain seperti kaldera Tambora, Doro Bente, dan Pulau Satonda—gunung api purba yang memiliki umur lebih tua dari Tambora. Pulau Satonda bahkan menyimpan stromatolit, tumbuhan purba langka yang hanya ditemukan di dua lokasi di dunia: Australia dan Tambora.

“Stromatolit itu harus benar-benar dikonservasi. Itu kekayaan geologi yang sangat jarang,” katanya.

Meski memiliki nilai geologi kuat, Makdis tidak menutup mata pada tantangan besar di lapangan—mulai dari minimnya sarana prasarana hingga keterbatasan anggaran.

“Sarana prasarana di sekitar Tambora itu masih minim. Hotel belum ada, akses transportasi terbatas. Di TNBT saja mobil untuk naik ke pos tiga cuma satu. Padahal tempatnya luar biasa,” ungkapnya.

Ia menilai daerah harus cerdas memanfaatkan momentum ini, termasuk memindahkan perhatian wisatawan asing dari kawasan lain yang kurang terkelola menuju Tambora. “Butuh inovasi. Bukan kampanye besar-besaran, tapi dorongan strategis supaya wisatawan mau datang,” tambahnya.

Selain itu, lobi ke pemerintah pusat sangat penting. Tidak hanya ke Kementerian ESDM, tetapi juga Kementerian Pariwisata hingga Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. “Jadi bukan cuma melobi UNESCO, tapi kementerian-kementerian juga harus dilobi. Goodwill pimpinan itu kunci,” tegas Makdis.

Makdis menjelaskan bahwa saat ini Geopark Tambora belum masuk tahap pengajuan resmi. Proses baru bisa dimulai setelah Kementerian ESDM mengeluarkan surat permintaan pengajuan dari seluruh geopark nasional, yang biasanya dikeluarkan pada awal tahun.

“Harapannya Januari atau Februari 2026, Kementerian mengirim surat ke semua geopark nasional: ‘Siapa yang mau mengajukan diri ke UNESCO?’ Nah, dari situ kita mulai presentasi,” katanya.

Biasanya, presentasi dilakukan pada Maret di Jakarta. Dari seluruh kandidat, Kementerian memilih dua geopark terbaik untuk didorong sebagai UGG. Hasilnya diumumkan sekitar Juni. Setelah itu, barulah UNESCO melakukan kunjungan lapangan untuk verifikasi.

“Jadi sekarang tahapnya memang belum apa-apa. Masih persiapan dasar. Yang paling penting sekarang adalah proses lobi dari tingkat daerah sampai pusat,” jelas Makdis.

Ia mencontohkan keberhasilan Geopark Rinjani sebelumnya, yang didukung penuh oleh semua pihak dari tingkat daerah hingga nasional. “Waktu Rinjani itu, semua turun. Dari atas sampai bawah terlibat. Karena itu berhasil,” katanya.

Makdis berharap Pemerintah Provinsi NTB, khususnya Gubernur, ikut memberi perhatian lebih terhadap proses pengajuan ini. Tanpa dukungan dan goodwill pimpinan daerah, upaya menuju UNESCO akan jauh lebih berat.

“Harapannya Gubernur juga aware. Ini butuh anggaran besar, butuh proses yang panjang. Tapi peluang Tambora itu besar sekali,” tutupnya.