Pojok NTB – Warung Saling Tunah: Resep untuk Keadilan Bencana di Lombok merupakan bagian dari proyek GENERATE: Gender, Generasi, dan Perubahan Iklim—sebuah pendekatan kreatif untuk membangun kota yang inklusif dan tangguh terhadap perubahan iklim di Uganda dan Indonesia.
Proyek ini didanai oleh UK Research and Innovation (UKRI) dan dipimpin oleh Dr. Katie McQuaid, Lektor Kepala bidang Gender dan Perubahan Iklim di Universitas Leeds, Inggris.
Proyek Warung Saling Tunah bertujuan mengumpulkan berbagai pemangku kepentingan dan komunitas untuk mengeksplorasi langkah-langkah menuju pengurangan risiko bencana yang berkeadilan. Kegiatan ini telah berlangsung di dua kabupaten, yakni Lombok Timur (9–10 Agustus 2025) dan Lombok Tengah (12–13 Agustus 2025).
Selanjutnya akan digelar di Kota Mataram (16–17 Agustus 2025), Lombok Barat (19–20 Agustus 2025), serta Lombok Utara (22–23 Agustus 2025). Pada akhirnya, proyek ini bersama komunitas akan merumuskan “Resep untuk Keadilan Bencana.”
Kepala BPBD Provinsi NTB dalam paparannya menjelaskan bahwa NTB terdiri dari dua pulau utama, yaitu Lombok (5.000 km² dengan 3,5 juta penduduk) dan Sumbawa (15.000 km² dengan 1,5 juta penduduk), yang menunjukkan perbedaan signifikan dalam kepadatan penduduk.
NTB sendiri memiliki 13 potensi bencana alam, di antaranya banjir, kekeringan, gempa bumi, tsunami, puting beliung, letusan gunung berapi, tanah longsor, abrasi pantai, kebakaran, cuaca ekstrem, hingga pandemi penyakit. Bencana tersebut tidak hanya merusak aset masyarakat seperti rumah dan pekerjaan, tetapi juga menimbulkan biaya pemulihan besar serta memperparah kemiskinan.
Dampak terberat biasanya dirasakan oleh kelompok prasejahtera dan penyandang disabilitas yang tidak memiliki perlindungan asuransi. Akibatnya, suatu desa bisa jatuh menjadi “desa miskin ekstrem” karena sulit pulih secara fisik maupun ekonomi.
Sementara itu, staf khusus Gubernur NTB menambahkan bahwa pemerintah daerah meluncurkan program “Desa Berdaya” sebagai upaya kolaboratif untuk mengatasi tiga isu utama: gender, bencana, dan kemiskinan.
Target program ini adalah menurunkan angka kemiskinan dari 12,9% menjadi di bawah 10%, serta menghapus kemiskinan ekstrem dari 4% menjadi 0%. Strateginya mencakup bantuan sosial, literasi ekonomi, serta pengembangan pendapatan masyarakat.
Dalam implementasinya, NTB mengadopsi “Graduation Approach”, metode yang terbukti berhasil di berbagai negara melalui organisasi internasional seperti BRAC. Pendekatan ini akan diuji coba di 20 desa percontohan dari 106 desa miskin ekstrem, meliputi desa pesisir, pinggiran hutan, pertanian, hingga perkotaan.
Kepala Dinas Sosial NTB juga berbagi pengalaman saat gempa tahun 2018, di mana tempat pengungsian tidak dirancang untuk kelompok rentan sehingga menimbulkan insiden kekerasan, termasuk kekerasan seksual. Dampak psikologis juga sering terabaikan dalam penanganan pascabencana.
Selain itu, bencana turut memperparah kemiskinan yang kemudian memicu masalah sosial lain, seperti meningkatnya kekerasan dan pernikahan anak. Karena itu, dibutuhkan perencanaan matang serta dukungan kuat dari pemerintah, masyarakat, dan keluarga sejak awal agar mitigasi bencana lebih komprehensif.
Hal penting lainnya adalah mengintegrasikan aspek psikologis ke dalam perencanaan bencana, serta memastikan kelompok rentan—perempuan, anak-anak, dan penyandang disabilitas—dilibatkan sejak tahap perencanaan. Kebijakan “Satu Data” pemerintah diharapkan mampu mengoptimalkan penanggulangan bencana sekaligus distribusi bantuan agar lebih tepat sasaran.
Pemerintah NTB pun membuka ruang kolaborasi dengan peneliti dan NGO dalam program Desa Berdaya, termasuk riset berbasis komunitas di desa-desa rawan bencana dan miskin.
Dr. Katie McQuaid juga menawarkan dukungan riset serta sponsorship, dengan mencontohkan keberhasilan proyek mangrove di Demak yang mampu memberdayakan perempuan secara ekonomi sekaligus menjaga lingkungan.
Diharapkan, dengan menggabungkan data, pengalaman masyarakat, serta pendekatan kreatif melalui seni dan workshop, kebijakan yang dihasilkan bisa lebih berbasis bukti, memperkuat ketahanan sosial-ekonomi, dan mewujudkan “keadilan bencana.”