Pujian yang dilontarkan oleh Menteri Dalam Negeri dan Kepala Bappenas kepada Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) dalam Rapat Koordinasi Pengendalian Inflasi Daerah pada 7 Juli 2025 patut dikaji secara lebih kritis. Klaim keberhasilan NTB yang menempati peringkat kedua nasional dalam realisasi pendapatan dan belanja daerah tampak sebagai penilaian semu yang tidak sepenuhnya mencerminkan kondisi riil di lapangan.
Dari perspektif ilmu pemerintahan dan manajemen keuangan daerah, keberhasilan tidak hanya diukur dari besarnya serapan anggaran, tetapi dari kualitas belanja serta dampak nyatanya terhadap kesejahteraan masyarakat. Dalam prinsip value for money yang menjadi fondasi keuangan publik, kinerja keuangan daerah harus dievaluasi berdasarkan tiga aspek utama: ekonomi (hemat), efisiensi (tepat guna), dan efektivitas (tepat sasaran).
Faktanya, meskipun realisasi pendapatan NTB per Juni 2025 mencapai 46,26% dan belanja 38,99%, angka ini tidak dapat dianggap “solid” dalam konteks tata kelola. Dalam siklus anggaran pemerintah (budget cycle), belanja idealnya sudah berada di atas 45–50% pada semester pertama untuk menghindari sindrom penumpukan belanja di akhir tahun (year-end spending syndrome), yang kerap rawan inefisiensi dan pemborosan.
Data Badan Pusat Statistik justru menunjukkan bahwa angka stunting di NTB meningkat sebesar 5%, sementara tingkat kemiskinan ekstrem tidak mengalami penurunan yang signifikan. Ini menjadi indikator kuat bahwa belanja pemerintah belum menyasar sektor-sektor esensial seperti layanan dasar, kesehatan, dan gizi masyarakat. Lalu, apa gunanya belanja besar jika rakyat tetap lapar, anak-anak tetap mengalami stunting, dan angka pengangguran terus meningkat?
Dalam pendekatan logical framework dalam perencanaan pembangunan, keberhasilan fiskal tidak hanya diukur dari output (berapa rupiah yang diserap), tetapi juga dari outcome dan impact, yaitu sejauh mana dana publik digunakan untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat.
Lebih jauh lagi, pujian dari pejabat pusat tanpa kunjungan atau verifikasi langsung ke lapangan menciptakan bias persepsi kinerja, yang berbahaya bagi tata kelola berbasis bukti (evidence-based governance). Pernyataan Kepala Bappenas yang mengaku belum pernah mengunjungi NTB tetapi menerima laporan “positif”, justru menegaskan defisit validasi data dan lemahnya analisis kebijakan—sebuah penyakit kronis dalam birokrasi Indonesia.
Apresiasi terhadap “keberhasilan semu” semacam ini hanya akan memperkuat praktik politik pencitraan dalam pengelolaan daerah, tanpa menyentuh akar persoalan struktural. Dalam ilmu kebijakan publik, ini dikenal sebagai symbolic performance—ketika indikator administratif seperti serapan anggaran dijadikan simbol keberhasilan, padahal kondisi sosial ekonomi masyarakat justru memburuk.
Jika evaluasi kinerja pemerintah hanya didasarkan pada angka-angka makro tanpa memahami konteks mikro dan dampaknya terhadap masyarakat, maka Indonesia bukannya bergerak menuju tata kelola yang baik, melainkan terperangkap dalam jebakan ilusi fiskal (fiscal illusion)—di mana pemerintah terlihat bekerja, tetapi masyarakat tidak merasakan hasilnya.
Kesimpulannya, yang dibutuhkan bukanlah pujian birokratik, melainkan transparansi, evaluasi berbasis data lapangan, serta akuntabilitas terhadap hasil nyata. Indonesia tidak sedang baik-baik saja secara fiskal—dan NTB bukan pengecualian. Di balik angka-angka serapan, tersembunyi persoalan substansial yang masih jauh dari penyelesaian.













