Mataram, pojokntb.com – Suara lantang untuk pemanfaatan lahan terlantar sebagai fondasi utama mewujudkan kedaulatan pangan nasional menggema kuat dalam Dialog Publik bertajuk “Mendorong Keadilan Agraria untuk Solusi Ketahanan Pangan Nasional.” Acara yang dihelat oleh Alpa NTB ini berhasil menyatukan beragam elemen masyarakat, mulai dari aktivis agraria, perwakilan organisasi kepemudaan, hingga relawan politik, yang secara kompak dan tegas mendesak pemerintah untuk segera mengambil alih dan memberdayakan lahan-lahan yang kini terbengkalai demi kesejahteraan rakyat.
Dialog yang berlangsung dinamis di Mataram ini secara tajam menyoroti urgensi pemanfaatan optimal lahan terlantar sebagai kunci fundamental dalam menciptakan ketahanan pangan yang berkelanjutan. Fidaf Khairul Diaz, Ketua Konsorsium Aktivis NTB, dengan penuh semangat menyatakan, “Sebagai negara dengan julukan agraria, Indonesia memiliki potensi luar biasa. Namun, potensi ini tidak akan berarti jika kita tidak mampu menjamin ketahanan pangan yang cukup bagi setiap warganya. Pemerataan agraria bukan hanya sekadar redistribusi lahan, tetapi juga memastikan bahwa aset strategis ini tidak hanya dikuasai segelintir konglomerat, melainkan dapat memberikan manfaat ekonomi dan sosial yang merata hingga ke lapisan masyarakat paling kecil.”
Senada dengan Fidar, Herman, Direktur Alpa NTB, dengan lugas menekankan bahwa keadilan agraria adalah prasyarat mutlak menuju ketahanan pangan yang sejati. Ia secara spesifik menyoroti fenomena memprihatinkan di mana banyak lahan Hak Guna Usaha (HGU) di NTB yang telah habis masa perizinannya namun ironisnya masih dibiarkan dikelola oleh perusahaan terkait, tanpa ada evaluasi atau penarikan kembali oleh pemerintah. “Ini adalah ironi besar yang merugikan. Bayangkan, jutaan hektar lahan yang seharusnya bisa dioptimalkan untuk produksi pangan lokal, justru terbengkalai, menjadi sumber konflik berkepanjangan, atau bahkan dialihfungsikan secara tidak bertanggung jawab. Kita harus memberantas praktik seperti ini agar pasokan pangan tidak terganggu akibat ketidakmerataan kepemilikan dan pemanfaatan agraria,” ujar Herman, menggambarkan dampak domino dari permasalahan ini.
Ancaman Lahan Non-Produktif dan Potensi Terabaikan
Aspek krusial lainnya yang menjadi sorotan adalah ketersediaan gizi bagi masyarakat dan produktivitas lahan. Ziad El Haq dari Aliansi Relawan Prabowo Gibran (ARPG) NTB dengan gamblang memaparkan data mengejutkan. “Kita memiliki potensi besar dengan sekitar 430 ribu hektar lahan di NTB yang seharusnya bisa dikelola secara produktif. Namun, data menunjukkan bahwa 5000 hektar di antaranya justru tidak produktif. Ini bukan hanya angka, ini adalah cerminan dari potensi pangan yang terbuang sia-sia, potensi kesejahteraan yang tidak terwujudkan,” ungkap Ziad dengan nada prihatin. Ia menambahkan bahwa pemuda harus menjadi lokomotif penggerak dalam mewujudkan ketahanan pangan nasional. Oleh karena itu, ia mendesak pemerintah untuk segera merumuskan dan menerapkan kebijakan strategis yang konkret guna menyelesaikan permasalahan agraria di Indonesia, khususnya di NTB, melalui pemanfaatan optimal lahan-lahan produktif yang saat ini menganggur.
Taupik Hidayat, Ketua KNPI NTB, memperkaya diskusi dengan membedah dua aspek penting: keadilan agraria dan ketahanan pangan nasional. Ia mengakui adanya lonjakan pertumbuhan ekonomi dari sektor pertanian sejak tahun 2023, yang merupakan kabar baik. Namun, ia juga menyoroti bahwa peningkatan ini masih dibayangi oleh konflik agraria yang semakin meluas, sebuah warisan pahit sejak era kolonial Belanda, yang hampir selalu merugikan masyarakat kecil. “Ada banyak sekali HGU dan Hak Guna Bangunan (HGB) di seluruh Indonesia, termasuk NTB, yang status administrasinya dipertanyakan atau bahkan tidak dimanfaatkan secara produktif. Ini adalah bentuk ketidakadilan agraria yang harus segera diatasi,” tegas Taupik. Ia mendesak pemerintah untuk mengambil langkah tegas dalam memastikan HGU dan HGB yang ada dapat dimanfaatkan secara optimal, bukan hanya untuk kepentingan segelintir pihak, melainkan untuk meningkatkan ketahanan pangan nasional dan menciptakan keadilan sosial.
Peran Negara dan Harapan Rakyat: Bumi untuk Kesejahteraan Bersama
Diskusi ini juga menyoroti fundamental konstitusional bangsa. Rizki Handika Putra, Sekretaris KNPI Kota Mataram, dengan cermat mengutip Pasal 33 ayat 3 Undang-Undang Dasar 1945 yang berbunyi, “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan digunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.” Mengacu pada amanat luhur konstitusi ini, Rizki secara lugas dan berani menyatakan, “Kami menawarkan solusi: lahan terlantar harus diambil alih negara, diperuntukkan secara khusus bagi masyarakat untuk bertani agar negara dapat menjamin keberlangsungan hidup dan kemakmuran rakyat.” Pernyataan ini menjadi poin kunci yang menggarisbawahi harapan besar masyarakat terhadap intervensi pemerintah untuk merealisasikan amanat konstitusi.
Menanggapi berbagai masukan, Taupik Hidayat menyayangkan masih minimnya organisasi kepemudaan yang secara aktif mengawal persoalan-persoalan agraria di Nusa Tenggara Barat. Ia mendorong Alpa NTB untuk melakukan tindak lanjut yang lebih konkret, termasuk memberikan perhatian khusus terhadap konflik agraria yang tengah memanas di Gili Trawangan, sebuah contoh nyata bagaimana ketidakjelasan status lahan dapat memicu ketegangan di masyarakat. Ziad El Haq menambahkan perlunya kolaborasi erat dari segala pemangku kepentingan – pemerintah daerah, pusat, akademisi, organisasi masyarakat sipil, hingga sektor swasta – serta konsistensi dan profesionalisme dalam pengelolaan lahan agar terwujudnya ketahanan pangan nasional bukan hanya mimpi belaka.
Dialog publik ini bukan sekadar pertemuan biasa, melainkan menjadi bukti nyata bahwa masyarakat NTB tidak hanya menyuarakan keluhan, tetapi juga menawarkan solusi konkret dan mendesak pemerintah untuk bertindak. Dengan mengambil alih dan memberdayakan lahan terlantar untuk kepentingan masyarakat, pemerintah dapat secara signifikan meningkatkan produksi pangan lokal, menekan angka kemiskinan, mengurangi ketimpangan, dan pada akhirnya mewujudkan keadilan agraria yang telah lama dinanti. Pertanyaannya kini adalah, akankah pemerintah di berbagai tingkatan menangkap kesempatan emas ini untuk benar-benar mensejahterakan rakyatnya dan mengamankan masa depan pangan bangsa?