Oleh: Direktur NasPol NTB
Sektor pertambangan merupakan salah satu pilar utama dalam struktur ekonomi daerah yang kaya akan sumber daya mineral. Dalam konteks penghitungan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB), mengecualikan sektor ini bukan hanya bertentangan dengan teori ekonomi regional, tetapi juga dapat menimbulkan ketidaktepatan dalam data fiskal, perencanaan pembangunan, dan pengambilan kebijakan publik. Tulisan ini menelaah secara teoritis dan empiris mengapa sektor pertambangan tidak dapat diabaikan dalam sistem perhitungan ekonomi daerah, dengan pendekatan ekonomi basis, kerangka Sistem Neraca Regional (SNA), serta teori fiskal dan kelembagaan.
*Peran Strategis Sektor Pertambangan dalam Struktur Ekonomi*
Perhitungan ekonomi wilayah melalui PDRB bertujuan memberikan gambaran menyeluruh atas kapasitas produksi, struktur sektor ekonomi, dan sumber pertumbuhan suatu daerah. Di wilayah seperti Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB), yang kaya akan sumber daya tambang, sektor pertambangan merupakan penopang utama output regional, ekspor, Pendapatan Asli Daerah (PAD), serta arus investasi. Maka, secara konseptual dan praktis, sektor ini tidak dapat dikeluarkan dari perhitungan PDRB tanpa mengorbankan akurasi dan relevansi data ekonomi daerah.
*Teori Ekonomi Regional dan Sektor Basis*
Dalam literatur ekonomi regional, Economic Base Theory membagi sektor ekonomi menjadi sektor basis dan non basis. Sektor basis, termasuk pertambangan menghasilkan output yang dijual ke luar wilayah dan menjadi sumber utama penerimaan ekonomi regional. Sebagaimana dijelaskan oleh Hoover (1975) dan North (1955), sektor basis memiliki multiplier effect yang signifikan terhadap sektor-sektor lain dalam perekonomian lokal. Oleh karena itu, mengecualikan sektor basis seperti pertambangan dari perhitungan ekonomi akan menimbulkan distorsi analisis dan risiko kebijakan yang keliru.
Sistem Neraca Regional dan Peran Pertambangan dalam PDRB
Badan Pusat Statistik (BPS) menyusun PDRB dengan pendekatan produksi, pengeluaran, dan pendapatan. Dalam pendekatan produksi, seluruh lapangan usaha dicatat berdasarkan kontribusi terhadap total output, termasuk sektor pertambangan dan penggalian. Di NTB, sektor pertambangan menyumbang sekitar 19–23% dari total PDRB selama lima tahun terakhir — menjadikannya sektor dominan secara struktural. Oleh sebab itu, penghapusannya dari perhitungan akan mengakibatkan under-reporting atas kapasitas ekonomi riil daerah, menyulitkan perbandingan antarwilayah, serta bertentangan dengan standar internasional dalam Sistem Neraca Nasional (SNA).
Implikasi Fiskal dan Kelembagaan
Dampak fiskal sektor pertambangan tidak dapat diabaikan, mengingat peranannya dalam Dana Bagi Hasil (DBH), penerimaan pajak, dan kontribusi terhadap PAD. Seperti dikemukakan oleh Musgrave & Musgrave (1989), struktur pendapatan daerah harus tercermin dalam sistem akuntansi ekonomi agar kebijakan fiskal dapat dirancang secara adil dan efisien. Dalam konteks kelembagaan, Sachs & Warner (2001) menunjukkan bahwa sektor sumber daya alam dapat menjadi penggerak pembangunan (resource-based development) apabila dikelola secara transparan, akuntabel, dan berkelanjutan. Menyingkirkan sektor ini dari sistem data ekonomi justru akan mengurangi ruang kontrol publik dan akuntabilitas institusi.
Kesimpulan
Berdasarkan teori ekonomi regional, sistem neraca nasional, serta teori fiskal dan kelembagaan, penghapusan sektor pertambangan dari sistem perhitungan ekonomi daerah penghasil tambang adalah tidak tepat baik secara teoritis maupun praktis. Sebaliknya, keberadaan sektor ini harus dikelola dan dioptimalkan secara berkelanjutan untuk memberikan kontribusi maksimal terhadap pembangunan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat lokal.